Newest Post
// Posted by :Febryan Sukma Limanus
// On :Senin, 02 September 2013
Kian banyak peran senjata api semasa pergolakan menentang Belanda pada
abad ke 18 dan 19 membuat beragam senjata api banyak beredar di tangan
sejumlah kelompok perlawanan. Sayang, penggunaannya belum maksimal
mengingat kesulitan kelompok perlawanan memperoleh amunisinya. Terbukti
dari uraian dalam laporan kematian para perwira pasukan kolonial Hindia
Belanda yang kebanyakan tewas akibat senjata tajam atau tembakan jarak
dekat.
Mungkin satu-satunya aksi tembak runduk kelompok perlawanan yang secara
resmi di akui rejim kolonial Belanda adalah insiden tewasnya Mayor
Jenderal JHR Kohler di depan Mesjid Raya Baitul Rachman, Kutaraja (kini
banda Aceh) pada tanggal 1873. Saat itu pasukan ekspedisi Belanda
berkekuatan 5.000 orang yang telah sembilan hari menyerang Kesultanan
Aceh berhasil mendobrak pertahanan laskar Aceh di Mesjid Raya dan
kemudian membakarnya hingga ludes.
Kohler yang tengah mengadakan inspeksi saat situasi sedang lengang
hendak beristirahat di bawah sebuah pohon yang berjarak sekitar 100 m
dari masjid. Mendadak sebuah tembakan meletus dan mengenai tepat di
kepalanya sehingga membuat Kohler tewas seketika. Seketika itu juga si
penembak di berondong tembakan oleh tentara Belanda, ternyata pelaku
penembakan Kohler diketahui seorang remaja Laskar Aceh berusia 19 tahun
yang bersembunyi di reruntuhan masjid.
Dilain pihak, laskar aceh sendiri sempat merasakan betapa ampuhnya
sengatan penembak runduk, salah satu tokoh mereka, Teungku Umar, tewas
di hajar sebutir peluru emas milik seorang penembak runduk dari satuan
elit Marachaussee di pantai Sua Ujung Kuala. Saat itu Teungku Umar
tengah merencanakan penyerbuan terhadap kota Meulaboh pada dini hari
tanggal 11 Februari 1899.